Berita

Saat Pahlawan Tanpa Tanda Jasa Rentan Dikriminalisasi

Sebagai seorang pendidik yang telah mengabdi selama hampir dua dekade, hati saya terasa miris menyaksikan fenomena yang kian marak terjadi di dunia pendidikan Indonesia: guru yang dengan mudahnya dikriminalisasi saat menjalankan tugas mendidik dan mendisiplinkan siswa. Paradigma pendidikan yang seharusnya berlandaskan kepercayaan dan kerja sama antara guru, siswa, dan orang tua kini seolah bergeser menjadi arena saling curiga dan ancaman hukum.

Sepanjang tahun 2023 hingga 2024, tercatat beberapa kasus guru yang harus berurusan dengan pihak kepolisian akibat tindakan pendisiplinan terhadap siswa. Salah satu kasus yang menyita perhatian publik saat ini adalah kejadian di di mana seorang guru honorer di SDN 04 Baito Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara Ibu Supriyani dilaporkan ke polisi dengan tuduhan melakukan penganiayaan kepada siswanya. Selain itu ada beberapa deretan kasus pahlawan tanpa tanda jasa yang dikriminalisasi, diantaranya Marsono guru olahraga di SDN 1  Wonosobo dilaporkan melakukan kekerasan saat melerai siswa yang berkelahi di sekolah. Zahraman guru di SMAN 7 Rejang Lebong, Bengkulu dilaporkan karena menegur siswa yang merokok di sekolah. Masse guru SDN di Desa Doule, Kecamatan Rumbia, Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara dilaporkan atas dugaaan penganiyayaan karena siswa tidak mau membuang sampah.  Seorang guru agama di SDN 1 Towea, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara berinisial A dilaporkan usai memukul siswa yang tidak mau ikut kerja bakti.

Fenomena kriminalisasi guru ini mencerminkan pergeseran drastis dalam cara masyarakat memandang profesi guru. Dulu, guru adalah sosok yang dihormati dan dipercaya sepenuhnya dalam mendidik anak. Namun kini, setiap tindakan pendisiplinan yang dilakukan guru seolah berada di bawah pengawasan ketat dan ancaman pelaporan pidana. Hal ini tentu berdampak serius pada psikologis para pendidik dan efektivitas proses pembelajaran.

Undang-Undang Perlindungan Anak memang penting untuk mencegah kekerasan terhadap anak, tetapi kesannya yang terlalu kaku justru dapat berdampak buruk terhadap proses pendidikan. Perlu dipahami bahwa mendisiplinkan tidak sama dengan kekerasan. Ada perbedaan mendasar antara tindakan yang bertujuan mendidik dengan tindakan yang bermaksud menyakiti. Sayangnya, batasan ini sering kabur dalam praktiknya.

Di negara-negara maju seperti Finlandia dan Jepang, hubungan guru-murid dibangun atas dasar saling menghormati. Tindakan pendisiplinan dilihat sebagai bagian integral dari proses pendidikan, bukan sebagai potensi pelanggaran hukum. Di sana, ketika terjadi masalah antara guru dan siswa, penyelesaiannya selalu diutamakan melalui dialog dan mediasi internal sekolah.

Kita perlu menyadari bahwa kriminalisasi guru bukan hanya merugikan para pendidik, tetapi juga berdampak negatif pada kualitas pendidikan secara keseluruhan. Bagaimana mungkin seorang guru dapat menjalankan tugasnya secara optimal jika setiap tindakannya dihantui ketakutan akan dijerat hukum? Situasi ini menciptakan generasi guru yang cenderung pasif dan enggan mengambil tindakan tegas ketika diperlukan, demi menghindari risiko pelaporan.

Perlindungan hukum bagi guru dalam menjalankan tugas profesionalnya sebenarnya telah diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Namun implementasinya masih jauh dari ideal. Dibutuhkan interpretasi yang lebih bijak dan kontekstual terhadap tindakan pendisiplinan yang dilakukan guru, dengan mempertimbangkan niat, situasi, dan dampak edukatifnya.

Solusi dari permasalahan ini membutuhkan pendekatan menyeluruh yang melibatkan berbagai pihak. Pertama, perlu ada revisi atau aturan turunan yang lebih jelas mengenai batasan tindakan pendisiplinan yang diperbolehkan bagi guru. Kedua, sekolah harus memiliki prosedur penanganan konflik yang jelas dan efektif, yang mengutamakan penyelesaian internal sebelum membawa masalah ke ranah hukum. Ketiga, perlu ada edukasi bagi orang tua dan masyarakat tentang pentingnya membedakan antara tindakan pendisiplinan edukatif dengan kekerasan.

Organisasi profesi guru seperti PGRI juga perlu lebih proaktif dalam memberikan perlindungan dan pendampingan hukum bagi guru yang menghadapi masalah serupa. Tidak kalah penting, perlu ada dialog konstruktif antara pihak sekolah, orang tua, dan pemangku kepentingan lainnya untuk membangun kesepahaman tentang batas-batas pendisiplinan yang wajar dalam konteks pendidikan.

Sebagai penutup, mari kita renungkan kembali hakikat pendidikan sebagai proses pembentukan karakter yang membutuhkan keseimbangan antara kelembutan dan ketegasan. Kriminalisasi guru bukanlah solusi untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sebaliknya, hal ini justru dapat merusak fondasi pendidikan yang telah dibangun atas dasar kepercayaan dan saling menghormati.

Yang kita butuhkan adalah membangun ulang hubungan antara guru, siswa, dan orang tua yang lebih baik, di mana tindakan pendisiplinan dipahami sebagai bagian dari proses pendidikan, bukan sebagai potensi pidana. Hanya dengan demikian, guru dapat kembali menjalankan tugasnya dengan optimal tanpa dihantui ketakutan akan kriminalisasi, demi menciptakan generasi penerus bangsa yang berkarakter dan berkualitas.

Dokumen foto: Antara

Komentar Berita

Reply

Revy Fachmilia Rahayu, S.Pd

Sependapat dan sepemikiran dengan tulisan bapak. Seyogianya kolaborasi antara guru dan wali murid penting untuk menghasilkan output yang tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga cerdas secara emosionalnya dan cerdas spiritualnya. Tugas guru tak hanya mengajar tetapi juga mendidik. Dengan adanya kerjasama dengan wali murid, semua itu dapat dicapai lebih mudah.

Komentar Positif

(021) 55786012
sdndarussalam77@gmail.com
Senin - Sabtu 8.00 - 17.00
Minggu Tutup
Jl. Pembangunan 1, Batusari, Batuceper, RT.002/RW.004, Batusari, Kec. Batuceper, Kota Tangerang, Banten 15121