Lagi, kasus candaan yang mengarah perundungan mencoremg dunia pendidikan Indonesia. Belum lama ini ramai berita televisi dan media sosial dengan tajuk arogansi wali murid yang yang meminta siswa di salah satu sekolah sujud untuk meminta maaf disertai dengan “menggonggong”. Hal tersebut terjadi lantaran karena korban membully anak dari walimurid tersebut yang menurut kejadian mengejek dengan kata kasar.
Ya,, kasus diatas hanya sebagian kecil yang terbuka karena beritanya viral diberbagai media, terutama media elektronik dan media sosial. Kasus tersebut kian ramai, karena kejadian tersebut terjadi masih di area lingkungan sekolah, tepatnya di depan sekolah korban. Arogansi wali murid yang merasa mempunyai kekuasaan, tanpa menghiraukan pihak sekolah untuk ikut mediasi kasus tersebut, bertindak sendiri. Wali murid pelaku dating bersama sekelompok orang dewasa mengintimidasi korban untuk meminta maaf dan bersujud seraya menggonggong di tempat public, didepan orang banyak, orang dewasa yang menyaksikan kejadian tersebut.
Walau sudah ada kata sepakat”damai”, setelah setelah video kejadian tersebut viral, rasanya ada sedikit kejanggalan, kenapa baru ada “damai” setelah kejadian memalukan terjadi? Walimuridpun membuat video permintaan maaf yang disebarkan, setelah kejadian. Seola hapa yang telah dirinya lakukan merupakan suatu hal yang biasa yang selesai dengan kata permintaan maaf. Perkembangan terakhir dari kasus tersebut, wali murid yang videonya viral ditetapkan sebagai tersangka, karena pihak sekolah tempat kejadian melalui pengacara menyerahkan kasusnya ke pihak yang berwajib agar hal demikian itu tak terulang kembali di kemudian hari.
Lalu dimanakah rasa empati semua pihak yang terlibat dari kasus tersebut, baik korban maupun pelaku? Bukankan disekolah didik untuk membentuk karakter, yang tentunya setiap peserta didik memiliki empati agar bijak dalam menyelesaikan setiap kejadian. Terlebih lagi pelaku, walimurid dengan gaya angkuhnya yang hanya karena memiliki kekuasaan, merasa “BEBAS” memberikan hukuman kepada mereka yang melakukan kesalahan. Harusnya orang dewasa, orangtua, menjadi teladan bagi putra-putrinya dan berjalan beriringan dengan pihak sekolah dalam menanamkan empati kepada peserta didik.
Tak berpihak kepada korban yang melakukan perundungan, karena dirinya pun melakukan perbuatan yang salah dengan melakukan candaan yang mengarah kedalam perundungan. Sungguh ironi memang, melihat generasi penerus bangsa yang “tuna empati”. Rasa empati mereja sudah mati karena tak bisa menyikapi suatu permasalahan dengan kecerdasan emosi. Hal yang sungguh memalukan.
Sebagai pendidik kita dituntut tidak hanya mengajar, mentrasfer ilmu pengetahuan, tetapi juga mendidik jiwa mereka agar cerdas tidak hanya intelektualnya tetapi juga cerdas spiritual, serta cerdas emosionalnya. Dengan menanamkan rasa empati agar tercipta saling menghormati dan menghargai serta agar candaan tak mengarah kepada perundungan. Sudah banyak kasus perundungan yang merusak mental tak hanya bagi korban tetapi juga bagi pelaku. Orang dewasa semestinya menjadi tempat memberikan contoh bagaimana penyelesaian suatu masalah, bukan malah larut dalam arogansi kekuasaan di dunia. Ingat, indahnya dunia jika kita hidup dengan menjunjung toleransi dan empati sebagai wujud nyata penanaman moral dan etika.
rfr151124
Kasus perundungan tersebut mencerminkan rendahnya empati dan kecerdasan emosional dalam menyelesaikan konflik. Kasus ini menjadi pelajaran bahwa kekerasan dan arogansi bukanlah solusi, melainkan justru merusak proses pendidikan dan perkembangan psikologis generasi muda.
Penting bagi semua pihak: sekolah, orangtua, dan siswa—untuk membangun budaya empati, mengedepankan dialog, dan menyelesaikan permasalahan tanpa kekerasan.
Kasus perundungan ini adalah sebuah panggilan bagi kita semua untuk lebih peduli terhadap sesama dan menciptakan lingkungan yang lebih baik. Dengan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya empati dan bekerja sama, kita dapat mencegah terjadinya kasus serupa di masa depan.
Copyright © 2022 SDN Darussalam. all rights reserved.